Senin, 12 Maret 2012

Merajut Maut: Membaca Antologi Berjalan Ke Utara


(Mengenang Moh. Wan Anwar)




Ada banyak tema yang menjadi rahim bagi lahirnya sebuah puisi. Keberagaman fenomena pada peristiwa sehari-hari, setidaknya menjadi sumur tanpa dasar (pinjam istilah Arifin C. Noer) yang tidak pernah kering digali oleh para pencari kata-kata. Tema cinta, kesunyian, kritik sosial, kecemasan eksistensial hingga kematian—sekadar menyebut beberapa contoh—telah banyak digumuli hingga melahirkan puisi dengan beragam gaya pengucapan.
Kematian sebagai salah satu tema yang terus mengilhami lahirnya puisi pada dasarnya adalah peristiwa keseharian yang sudah akrab dengan manusia. Pada sebuah puisi, maut menjadi sesuatu yang bervariasi dan terus dimaknai terutama oleh para penyair. Kematian yang sudah merupakan hal yang terberi (given) ternyata tidak selesai pada traktat filsafat, eskatologi kitab suci, dan ilmu medis.  Penyair terus menerobos pada wilayah pemaknaan ulang mengenai kematian. Apabila yang pertama mencoba menekan respon subjek diri dengan merumuskan konsep-konsep ajeg dengan pikiran, iman dan reduksi ilmu pengetahuan, maka yang kedua (sengaja?) membiarkannya tetap pada posisinya yang berjarak dari subjek. Pada titik ini bahasa puitik bisa menjadi alternatif yang mungkin dapat mendekatinya dengan alegori dan metafora karena acuan (referen) pada tingkat denotasi selalu timbul dan tenggelam dalam ranah konseptual.