(Mengenang
Moh. Wan Anwar)
Ada banyak tema yang menjadi rahim bagi
lahirnya sebuah puisi. Keberagaman fenomena pada peristiwa sehari-hari,
setidaknya menjadi sumur tanpa dasar (pinjam istilah Arifin C. Noer) yang tidak
pernah kering digali oleh para pencari kata-kata. Tema cinta, kesunyian, kritik
sosial, kecemasan eksistensial hingga kematian—sekadar menyebut beberapa
contoh—telah banyak digumuli hingga melahirkan puisi dengan beragam gaya
pengucapan.
Kematian sebagai salah satu tema yang terus
mengilhami lahirnya puisi pada dasarnya adalah peristiwa keseharian yang sudah
akrab dengan manusia. Pada sebuah puisi, maut menjadi sesuatu yang bervariasi
dan terus dimaknai terutama oleh para penyair. Kematian yang sudah merupakan
hal yang terberi (given) ternyata
tidak selesai pada traktat filsafat, eskatologi kitab suci, dan ilmu
medis. Penyair terus menerobos pada
wilayah pemaknaan ulang mengenai kematian. Apabila yang pertama mencoba menekan
respon subjek diri dengan merumuskan konsep-konsep ajeg dengan pikiran, iman
dan reduksi ilmu pengetahuan, maka yang kedua (sengaja?) membiarkannya tetap
pada posisinya yang berjarak dari subjek. Pada titik ini bahasa puitik bisa
menjadi alternatif yang mungkin dapat mendekatinya dengan alegori dan metafora
karena acuan (referen) pada tingkat
denotasi selalu timbul dan tenggelam dalam ranah konseptual.