Rabu, 30 Mei 2018

Puisi-Puisi Wahyu Arya

SAJAK SEHARI-HARI 


Aku harus terbiasa menulismu pada lembar-lembar daun
Yang luruh pada pagi yang senyap ketika sayap lepas satusatu
Berjatuhan meninggalkan kawanan burung dari ziarah
Ke sisa mendung

Aku harus terbiasa bercakap dengan dinding kamar ini
Saat sunyi mengusir orangorang dari jalan raya dan hujan
Melulur sosok lain yang tak pernah kubayangkan sebelumnya—
Tentang  kematian—begitu rahasia

(Ada yang lindap diamdiam pada syal kumal.
Seperti bisik dan reda kata)


Puisi di Republik Serbet


Oleh Wahyu Arya

Sastra, khususnya puisi semakin hari semakin dekat dan akrab di hati masyarakat Indonesia. Saya akan tersinggung jika para ahli sastra baik dari kalangan kritikus sastra, sastrawan maupun dosen sastra menilai masyarakat Indonesia miskin apresiasi terhadap karya sastra. Juga sama tersinggungnya jika mereka menyebut antusiasme terhadap puisi masyarakat Indonesia memble.

Pak Taufik Ismail pernah menyatakan: bangsa Indonesia adalah bangsa yang rabun membaca dan lumpuh menulis! Diagnosa yang terburu-buru buat saya. Pak Taufik Ismail perlu menyimak bagaimana keseruan polemik terkait sastra, khususnya puisi terjadi begitu deras dan seru belakangan ini. Meskipun tidak elok rasanya kalau membandingkan polemik belakangan ini dengan Polemik Kebudayaan yang terjadi era Opa Sutan Takdir Alisjahbana kontra Om Armijn Pane yang menyoal kiblat ideal kebudayaan Indonesia pada dua pilihan Barat dan Timur. Juga perseteruan seru antara kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) soal seni untuk seni dan seni untuk rakyat!


Sabtu, 30 Maret 2013

UKM Belistra Diklat Di Gunung Pulosari


SORE hari hawa gunung mulai terasa. Sejuk pada punggung tangan, daun telinga dan lubang hidung. Dari jarak yang tidak terlalu jauh tampak Gunung Pulosari terbungkus kabut putih di atasnya. Bagus, seorang kawan yang memboceng saya mematikan mesin motor. “Kita sudah di Mandalawangi, Pandeglang,” ujar Bagus. Bahri kawan lain menghentikan motor di depan kami.

Ada dua orang teman yang masih tertinggal di belakang. Ibrohim dan Cevi. Saya hubungi Ibrohim (Boim) melalui ponsel. Menunggu selama kurang lebih sepuluh menit. Takjub dengan pemandangan yang asri, saya ambil beberapa gambar, memotret gunung yang berkabut. Terlihat sunyi namun indah. Sepuluh menit berlalu, Ibrohim dan Cevi datang. Kami pun melanjutkan perjalanan.

Semakin sore, udara gunung semakin terasa dingin. Jalanan lembab seperti baru saja tersiram hujan. Pasar Pari, Labuan, Pandeglang kami lalui. Kumuh dan murung. Beberapa lampu mulai menyala, hari makin beranjak gelap.

Jumat, 29 Maret 2013

Si Musafir Di Persimpangan Jalan: Membaca Puisi-Puisi Syukur A. Mirhan


Oleh: Wahyu Arya

Jika ada sebuah jalan bercabang dan Si Musafir berdiri di antara keduanya, pilihan jalan yang satu tentu akan menggugurkan jalan yang lain. Begitu pula dengan jalan yang ditempuh Syukur A. Mirhan (selanjutnya SAM) di awal kepenyairannya.  Ia lebih memilih jalan sunyi. Si Musafir, begitu berulangkali ia menyebut dirinya, lebih gandrung pada yang hening-tenang. Pada jalan itu pula, ia menemukan dirinya sendiri. Ke-diri-an pun utuh manakala suara-suara, hiruk pikuk kehidupan di luar diri banyak mengalihkan dari Kekasih atawa Sang Penatap. Sampai di sini, kenalilah diri maka kamu akan mengenal Tuhanmu, benar ketika Si Musafir selalu dalam keadaan ingat akan tujuan perjalanannya.

KEMBANG TUJUH RUPA MENGERING DI PASAR LAMA

EMPAT meja kecil bertabur kembang tujuh rupa. Saya berusaha melihat lebih dekat jenis kembang yang ada di atasnya. Si penjual hanya tersenyum ramah melihat dagangannya diperhatikan sedemikian rupa. Katil, mawar, melati, kenanga, kembang kertas, sedap malam, dan kamboja.

Sabtu, 23 Maret 2013, siang yang panas, tangan Munah (52) masih menusukkan jarum ke kelopak kembang menjadi untaian seperti kalung manik-manik di dada perawan.
Perempuan yang akrab disapa ‘Bu Mun’ ini mengenakan kebaya merah. Dari usia, Bu Mun lebih tua dibanding rekan penjual kembang lainnya.

Kamis, 28 Maret 2013

Midnight in Paris : Saat Woody Allen Menjungkirbalikkan Waktu

Apa kamu punya pengalaman tengah malam yang mengagumkan di Paris? Hmm kalau belum pernah, saya kasih rekomendasi film yang bisa kamu tonton untuk bisa merasakan indahnya tengah malam di Paris.

Yah, Midnight in Paris. Film yang satu ini disutradarai oleh Woody Allen, Sutradara multi-talen yang bernama lengkap Allen Stewart Konigsberg juga merupakan aktor, penulis, musikus (klarinet), dan pelawak yang cerdas. Allen adalah salah seorang sutradara paling berpengaruh pada zaman modern berkat film-filmnya yang cenderung menggarap isu intelektual. Seringkali ia turut berakting dalam film-film arahannya. Yang menjadi inspirasi Allen antara lain sastra, filsafat, psikologi, dan lain-lain. Annie Hall adalah film Woody Allen yang paling terkenal di tanah air.

Melalui *Midnight in Paris *(2011) ini, Allen kemabali membuktikan kepiawaiannya dalam menggarap film serius namun tidak kehilangan mood untuk ditonton anak muda yang suka dengan kisah romasa.

Minggu, 10 Maret 2013

Petang di Taman: Pertunjukkan yang Absurd

SERANG - Sebuah bangku panjang dan lampu taman yang menyala temaram. Seorang lelaki separuh baya terbangun dari tidur karena batuk orangtua. Keduanya membuka percakapan, pertanyaan, tebakan tentang cuaca. Suara guntur menggelegar, dan si kakek mengatakan bahwa hari akan hujan. Sementara si lelaki muda menyangkal karena musim sedang kemarau.

Perdebatan tentang cuaca membuka pementasan "Petang di Taman" oleh anggota baru Gesbica IAIN SMH Banten. Pementasan yang diangkat dari naskah karya Iwan Simatupang ini memang terkesan berat untuk dinikmati. Percakapan para aktor yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana namun sulit dijawab membuat teka-teki yang melibatkan para penonton dalam pertanyaan-pertanyaan dan jawaban sementara.