SAJAK SEHARI-HARI
Aku harus terbiasa menulismu pada lembar-lembar daun
Yang luruh pada pagi yang senyap ketika sayap lepas satusatu
Berjatuhan meninggalkan kawanan burung dari ziarah
Ke sisa mendung
Aku harus terbiasa bercakap dengan dinding kamar ini
Saat sunyi mengusir orangorang dari jalan raya dan hujan
Melulur sosok lain yang tak pernah kubayangkan sebelumnya—
Tentang kematian—begitu rahasia
(Ada yang lindap diamdiam pada syal kumal.
Seperti bisik dan reda kata)
Aku harus terbiasa melukis roh kita pada kanvas putih
Sebab hutan telah musnah oleh api dan gergaji sementara
Tubuh kita belum sempat lebur dalam senggama
Yang tergesa
Aku harus terbiasa menyanyikan getargetar rubaiyat
Sebab jemari kita selalu berjatuhan oleh musim
Sebelum sangsai dawai merangkum simphoni
Dalam sepi nyanyi
Aku harus terbiasa. Harus terbiasa.
Januari, 2010
DUO VIOLIN CONCERTO IN D MINOR
:ev
Adakah suara kita berkelindan pada sayatan biola tua
Seperti Bach terpesona pada kemurungan panjang
Terlelap bersama aroma hutan
Percintaan dan kematian. tuhan dan kecemburuan
Kita bereda di sana sebagai gembala yang mengutuki awan
Hujan menggiring kita dari padang rerumputan
Namun rindu adalah udara yang kita hirup yang
Kita teguk sebagai sirup
Bergelas-gelas seperti dahaga gurun atau partitur
yang mengantarmu ke pias tidur
Januari, 2010
KUTANGKAP ISYARAT MATAMU
Kaupun mempertegas dua musim yang memisah kita
Antara aroma rerumputan dan padang savana
Tak mungkin kusapa wajahmu dengan guguran daun
Dan ranggas pepohonan--nafas kemarauku
berabad-abad memporakporandakan tunastunas hujan
Betapa telah kutangkap isyarat matamu lewat riakriak awan
Dan gemuruh angin laju mobil di jalan raya dan tiangtiang
Sepanjang kecemasan menghimpitku pada temboktembok
Mengusir hewanhewan ternak memamah doa dan di sana:
Rerumputan mengering kehilangan arah tawafnya yang hening
Maka perpisahan antara dua arus sungai atau goresangoresan
warna pada lukisan itu adalah hidup kita yang lain.
Masing-masing membekukan waktunya untuk tidak
Saling menemukan.
Januari, 2010
KUPETIK AIRMATA
:WA
kau telah menyarahkan air matamu sebagai kurban. mendaki nafas dan cahaya. linangnya membakar alis dan tasbih dedaunan. sebagai pecinta kesepian sepanjang jalan. sebagai kemabukan dan pengasingan. bahkan pagi ini aku masih merapikan ingatan. kenangan melintas berlesatan begitu samar dan tak beraturan. sebelum aku memahami kepergianmu sebagai adalah kepulangan yang kekal.
aku masih menulis sajak pagi ini untuk tidak siapapun juga kau yang lenyap bersama kawanan burung juga genang embun pagi yang lekas mengering dalam jiwaku yang pasi. telah kutulis warna kematian dalam secawan racun yang mengiringi Socrates pada henyak yang nyenyak dan baqa. pada seutas tali yang mencumbu Hallaj dalam percintaan tak terduga. karena setiap kata yang kutulis adalah nafasmu yang tersengal di pejal waktu. bukan dari si pencemas bernama aku. aksaraaksara yang kutulis adalah airmatamu yang kupetik dari reranting rindu.
November 2009
SENJA ITU
senja mungkin akan selesai
bukankah malam selalu lebih panjang dari siang dan sore hari
begitu juga jejakjejak sajak yang pernah aku tulis di dagumu dan kaubaca sebagai kisah
resah dan sejumlah kegagalan
tapi sore ini aku ingin menyimpan satu saja senja milikmu pada saku bajuku
bersama seoptong azan yang basah. agar arlojiku gagap dan gagal menemukannya.
aku tidak ingin begitu saja jarumjarumya yang kekal menghabiskan apa saja
sementara tak tersisa suatu apa untuk dapat mengenangmu. juga senja itu.
senja memang akan selesai. juga dalam saku bajuku
Serang, 2009
LELAKI DAN SEBUAH JALAN
Yth. Itara
Begitulah si lelaki menikmati kesendirian dan sebuah jalan masih juga menyimpan bibir
kekasihnya yang tandus. Namun musim telah berganti begitu cepat di luar perhitungan
semula. Belum selesai si lelaki bercerita pada kekasihnya tentang ketololan maut yang
merenggut Ophelia kemudian hidup seorang lelaki seluruhnya adalah kutukan
Barangkali memang diamdiam ada yang menuliskan kisah lain—bukan kita—masih dengan
kisah sebuah jalanan lengang dan seorang lelaki yang menunggu kekasihnya sore itu
datang membawa setangkai kembang dan sebilah pedang menusukan mataruncingnya
tepat ke jantung matahari. Tapi mengapa darah segar muncrat justru dari dadaku.
Cilegon, 2009
WAKTU MENIKAHI MATAHARI
Apa yang masih bisa aku tukar saat kabar terbakar tak tersisa
Dalam hidup yang terus berguguran. Pada butiran pasir
Waktu menikahi matahari yang sendiri hingga berkobarkobar
Detik menit jam juga hari sebagai pembunuh tanpa dendam
Serang, 2009
BAHKAN AKU SUDAH MENDUGANYA TERLALU DINI
Bahkan aku sudah menduganya terlalu dini:
Engkau meninggalkan hujan yang biru
Dalam detak tubuhku yang bertalu-talu
Ditikam rindu
Siapa yang bertanggungjawab jika suatu hari
rindu itu datang padamu tanpa kabar terlebih dahulu
mengetuk pintu dan kau terkejut melihat bayanganku
kuyup oleh hujan itu
Tangerang, 2009
SESEORANG YANG MENGIMANI SUNYI
Engkau yang dibekali musim datang kepadaku
Dengan desah tertahan katakatamu masih menyimpan
Larik-larik pepohon yang tertulis di bawah hujan
Bukankah seseorang telah mengimani sunyi
Seperti pertamakali sudut mimpi kita bertemu
Menciptakan dunia ajaib dari bendabenda
dan sesuatu yang tak sepenuhnya ada
Tangerang 2009
SAJAK TELUR ASIN
Di bawah oleng cahaya lampu
Telurtelur bercahaya
Hijau muda
Selarut ini seorang ibu masih
Setia mengerami mimpi
Anakanaknya
Hingga tuntas malam
dibalurnya dengan abu
dan garam
Serang, 2008
KITA MASIH TERDIAM
Kita masih terdiam menghayati hujan yang belum juga selesai
Dan hanya mampu menduga bahwa selalu Ada yang abadi pada sisa detik yang rawan
Selebihnya sunyi meneduhkan mimpi perlahanlahan
Tangerang, 2008-2009
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puisi-puisi Wahyu Arya Wiyata ", https://nasional.kompas.com/read/2010/04/28/04075477/Puisi-puisi.Wahyu.Arya.Wiyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar