
Judul: Perjumpaan dengan Banten
Penulis: Wan Anwar
Penerbit: Kubah Budaya
Cetakan Pertama: November 2011
Tebal: vi + 232 halaman
Ukuran: 14 x 20.5 cm
Kertas: Book Paper
ISBN: 978-602-19376-0-0
Harga Rp. 40.000
Tampilan Banten sebagai provinsi yang memiliki masa lalu yang megah telah banyak ditulis dan dijadikan referensi kaum cerdik cendikia yang gandrung akan sejarah. Masa lalu pun terhampar dalam teks seperti hamparan permadani yang mewah dengan kisah kebijakan para sultan dan negosiasi kolonial untuk menguasai pasar yang berakhir dengan penaklukan. Figur orang-orang besar pun mengisi ruang kesadaran pembaca. Selain kemegahan akan masa lalu; kemegahan heroisme mungkin akan terus diwariskan ketika Banten didudukkan dalam posisi ini. Sementara dalam konteks kekinian, kadang-kadang Banten direduksi hanya sebagai daerah yang memiliki otonomi untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri.
Buku Perjumpaan dengan Banten karya Wan Anwar (2011) setidaknya menawarkan sesuatu yang berbeda dari segi uraian karena gaya penulisan dengan genre esai yang akrab. Sebagaimana pada umumnya esai selalu membuka peluang bagi lentikan subjektivitas seseorang dalam hal menggunakan sudut pandang, namun tetap punya daya tonjok kritis dan dan kesegaran terhadap pokok soal yang sedang dibahasnya. Dalam salah satu esai yang berjudul “Tegak Sebagai Pribadi” (hal 7-13), Wan Anwar sadar bahwa aku (drinya), kami, ia, mereka, tidak lebih dan tidak kurang dari pribadi yang terus berjuang dalam proses mempribadi. Dengan pijakan inilah Wan Anwar merespons laju kebudayaan, khususnya di Banten dengan segala problematika dan dinamikanya yang terus mencari jati diri di tengah gempuran kolektivitas yang metrialistik.
Selain itu, Banten dalam buku ini lebih terasa sebagai arena kultural yang terus menggelinjang di tengah hiruk-pikuk moleknya kesenian di Jakarta, Bandung dan Jogja. Banten yang memiliki keinginan kuat untuk setara dengan kota besar lainnya sebagai provinsi yang terbilang muda kadang terjebak dengan projek pembangunan infrastruktur yang tidak efektif. Hal ini disikapi secara kritis dengan pertanyaan santai: Adakah perubahan yang signifikan dari perpindahan status perpindahan pengelolaan pemerintahan itu? Agak sulit menjawab masalah ini, namun jelaslah jalan utama kota Serang kini dibelah oleh asmaul husna (meski artifisial) menghiasi tiang-tiang yang atasnya memuncratkan lampu kembang api. (“Perjumpaan dengan Banten”, hal 3).
Dalam buku ini Wan Anwar yang semasa hidup sebagai penyair dan salah satu redaktur majalah sastra Horison, di samping menjadi dosen sastra di Universitas Tirtayasa, terasa memiliki tradisi pengamatan yang kuat dengan tetap menjaga gaya ungkap memikat. Visi kebudayaannya yang terbuka sebagai pribadi merupakan modal besar untuk memasuki seluk-liku kantong-kantong kesenian di Banten, di samping aktivitasnya yang cukup padat di Horison . Sebagai akademisi ia tidak hanya asik dengan kaum terpelajar; sebagai penyair ia terobos sekat dengan mereka yang punya keinginan berkarya dan ia “Menjumpai Manusia di Sanggar Sastra” (hal, 27) untuk melakukan kerja nyata dalam karya.
Di Bandung, Wan Anwar merupakan salah satu pendiri ASAS (Arena Studi Apresiasi Sastra) bersama Nenden Lilis A dan Deden Abdul Aziz. Di Serang, Banten ia merangkul para mahasiswa dan alumni untuk mendirikan Kubah Budaya. Tetapi rupanya sekali lagi Banten dalam pandangannya adalah hamparan arena yang juga dihuni oleh seni tradisi yang kembang-kempis bersaing dengan hiburan rakyat yang semakin vulgar dan instant. Jika yang pertama hiburan masih lekat dengan basis komunal (paguyuban), yang kedua justru menghibur banyak orang yang tak saling kenal.
Dalam “Ubrug Masa Depan”, ubrug sebagai salah satu seni tradisi di tengah masyarakat memang masih hidup (terutama saat perayaan-perayaan) tampil di muka publik. Dalam penampilan seni tradisi sering pula di kunjungi penonton, tetapi secara umum kondisinya mengkhawatirkan. Kehidupan ktoprak, ludruk, randai, sruntul, mamanda, longser, ubrug, angklung buhun, beluk, lenong, dan sebagainya di zaman modern ini tidak sekokoh di zaman dulu ketika ikatan masyarakat tradisi/desa masih kuat. Ibaratnya sekarang kesenian tradisi itu berada dalam fase “hidup segan mati tak mau” (hal 46).
Sebagai akademisi rupanya figur dari Banten yang muncul di mata Wan Anwar adalah Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi al-Tanari. Melalui “Jalan Sunyi Syekh Nawawi” pembaca seolah diajak kembali mengenang sosok intelektual kelas dunia dari Banten ini. Diawali dengan syair: Ikan-ikan di laut akan memohonkan ampunan bagi orang yang berjalan menuju orang alim (guru) untuk belajar, Wan Anwar seperti merindukan figur intelektual tangguh dari Banten yang akan membawa nama Banten di tengah pergaulan dunia. Figur yang diperhitungkan karena karya dan pemikirannya. Jika sudah demikian, maka Banten di samping punya tradisi tasbih dan golok, nampaknya pena adalah simbol yang sudah lama terkubur dan mendesak untuk segera tegak dituliskan.
Masih banyak lagi subjek bahasan dalam buku ini. Dari kesibukan seni tradisi hingga komunitas kesenian kontemporer yang terus bergerak di Banten; dari figur orang besar hingga kehidupan kampus tempatnya mengajar, dan seterusnya. Mengenai hal ini, buku Perjumpaan dengan Banten karya Wan Anwar menjadi semacam ruang silaturahmi tempat bertemunya pengalaman dan gagasan sebagai hasil persentuhan seorang penyair, akademisi, dan budayawan dengan ruang lain yang menjadi arena pergumulannya[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar