Judul
buku : The Other Voice (Suara
Lain)
Penulis
: Octavio Paz
Penerjemah:
Max Arifin
Tebal : 205 halaman
Penerbir
: Komodo Books
Tahun
terbit : 2010
ISBN : 9897-986726-0-X-9
Seorang Octavio
Paz barangkali memiliki pandangan yang berbeda dengan kebanyakan orang. Di
matanya puisi merupakan mikrokosmos yang terus berdialektika dengan jagat
besar; tarik tambang yang tak lelah-lelah membetot realitas gerak jaman dan
arus waktu sebagai sesuatu yang berada di luar dan terus merangsek masuk pada
dunia tekstual. Mendesak penyair untuk berterus mengabarkan dunia yang
dihadapinya kepada sidang pembaca dengan suara yang berbeda. Suara yang tidak
menuntut pembaca untuk memaknai sesuatu (baca: bahasa) dengan ajeg dan pasti.
Pada titik ini kesaksian, cinta, keluhan, celoteh, dan teguran seorang penyair terhadap
lingkungan sosial memilih untuk tidak berkata dengan bahasa lantang dan penuh
jargon perjuangan. Puisi barangkali hanya gumam yang menepuk pundak kemandegan
berpikir dan merasa. Seperti kawan lama yang datang membawa berita yang baru
bukan karena isinya tetapi karena diucapkan dengan pengucapan berbeda.
Dalam buku kumpulan esai ini jelaslah bahwa Paz adalah pribadi yang gelisah yang tidak selesai dengan menulis puisi. Sebagai seorang penyair peraih nobel kesusastraan tahun 1990, Paz tak ubahnya sebagai seorang intelektual publik yang mencoba terus membuka diri untuk menyerap gojolak sosial; menyelami kegelisahan pergeseran nilai yang terjadi di hampir setiap masyarakat. Ia tidak hanya berbicara sebagai orang Mexico, tetapi juga mendedah budaya Yuniani klasik, tradisi Cina, Jepang, hingga Eropa. Hal yang yang menarik dari sekian tulisan dalam buku ini adalah semua disoroti dari sudut pandang seorang penyair. Bagaimana puisi menjadi kesatuan yang tak terpisahkan dengan masyarakat karena pada masyarakat masing-masing individu hidup di dalamnya. Masing-masing individu itu memiliki cita-cita, kesunyian, haru, cemas, dan hikmat menghadapi hidupnya. Dan puisi hadir dari rentetan kondisi manusia tersebut.
Dalam
esainya yang berjudul "Penyimpangan dan Penyatuan", Paz mendaras
bagaimana modernitas lahir dari sikap kritis yang ditujukan pada agama,
filsafat, moral, hukum, sejarah, ekonomi, dan politik. Lantas setelah itu modernitas
menjelma "perahu" dengan seabreg barang muatan seperti ilmu
pengetahuan, teknologi, kebebesan, demokrasi, revolusi, kemajuan, dan kapitalisme.
Puisi yang sejatinya milik suatu kelompok masyarakat selalu mengambil perannya
dalam kesadaran masyarakat. Ia terlibat mendampingi program besar modernitas
yang bercita-cita memudahkan segala hal tentang hidup dan kehidupan. Pada saat
tertentu puisi mempertanyakan kembali cita-cita itu dengan suara berbeda ketika
kebanyakan orang mengamini segala apa pun tentang modernitas tanpa pikir
panjang.
Esainya yang
lain berjudul "Yang Sedikit dan Yang Banyak", Octavio Paz mencoba
menghadirkan pertanyaan, berapa banyak orang yang membaca buku puisi? Dan siapa
saja mereka itu? Jawabannya sedikit. Tetapi kemudian ia melanjutkan bahwa
hampir tidak ada satu orang besar pun yang tidak mengapresiasi puisi, baik dia
menulis puisi atau tidak. Ini berlaku mulai dari St. Thomas sampai ke Machiavelli, dari Bacon
ke Schopenhauer, dari Montaigne ke Karl Marx. Maka tandasnya, pertanyaan yang
berkenaan mengenai penjumlahan akan menghilang. Pada tulisan yang sama Paz
melanjutkan pertanyaan, apakah sedikit dan banyak? Paz menolak jika jawaban
atas pertanyaan itu hanya berupa data statistik. Menurutnya pribadi seperti
Mallarme, Verlaine, Baudelaire, hanya menyebur beberapa saja adalah pribadi
yang sedikit dari yang banyak. Tapi mengapa sampai saat ini nama-nama tersebut
masih selalu segar ketika kita berbicara para jenial yang lahir dari suatu
jaman. Tidak lain karena mereka telah mencipta apa yang tidak sanggup di
suarakan kebanyakan orang banyak pada jamannya.
Mengenai
pembaca Paz mengatakan bahwa, "membaca adalah menemukan jalan-jalan setapak
yang tidak diharapkan sebelumnya, yang menuju kepada diri kita sendiri. Itu
merupakan pengenalan dan pengakuan dalam era periklanan dan sistem komunikasi
yang instan, komunikasi yang serba cepat, berapa banyakkah orang yang mampu
membaca, dalam suasana seperti itu? Sangat sedikit. Tetapi kesinambungan dan
kelanjutan peradaban kita terletak di sana,
bukan pada data-data statistik hasil survei" (hal, 113).
Paz tentu
sadar bahwa rasionalitas sebagai warisan Abad modern cenderung berpijak pada
logika ilmu alam (eklaren) yang
mereduksi fenomena sosial menjadi deretan angka yang pasti. Manusia tak ubahnya
tubuh mekanis yang bergerak dalam lingkup metode dan rumusan-rumusan tegas.
Apabila terjadi fenomena di luar itu yang menyangkut manusia maka dengan segera
lebel "kasuistik" dan tak masuk hitungan segera bertindak sigap. Pada
esai "Suara Lain", ia menyebut puisi sebagai Si Pengecam modernitas.
Puisi adalah suara lain (the other vioce).
Suara yang menamai segala yang samar, yang menamai getar-getar halus dalam kalbu
manusia. Ia lahir dari hasrat dan visi. Berdiri pada masa lampau, kini, dan
masa depan tanpa titimangsa. Kebida'han dan yang beiman salih, yang tak berdosa
dan sesat, yang terang dan kelam, yang di pertapaan dan di sudut bar, yang
dapat dijangkau dan di seberangnya. Puisi lahir dari dunia yang menerobos batas
tegas: gamang yang panjang! Rendah hati berututur dan menegur semangat membabi
buta seperti yang sedang menjangkiti para pemegang kuasa di negeri kita[]
Sumber tulisan Radar Banten, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar