Selasa, 09 Maret 2010

Ironi, Kritik, dan Karnavalisasi Diri

Modernitas mungkin masih menjadi cita-cita banyak orang sebagai paradigma intelektual setelah di abad pertengahan rasionalisme terpaksa bungkam di bawah kuasa agama. Setalah itu peradaban dan pikiran seolah terbangun dari tidur panjangnya. Tetapi ada yang terlupakan--bahwa modernitas dengan rasionalisme akhirnya terjebak pada irasionalisme yang lain--yang juga mengakibatkan kemurungan yang lain pula. modernitas dan rasionalisme menggiring pada tindakan efektif namun kadang fatal. Sebuah ironi yang lain segera mengganti ironi sebelumnya.

Di sisi lain, ironi menurut saya, justru dapat menetralisir kemurungan. Ungkapan tierischer Ernst (serius seperti binatang) pada masyarakat Eropa menunjukan sikap enggan tertawa--atau sama sekali tidak pernah tertawa karena kejadian-kejadian lucu dari luar diri--apalagi menertawakan diri sendiri. Selain itu ironi begitu dekat dengan karnaval (dari “Carne Vale”), yang berarti: selamat tinggal oh daging! Sebuah tradisi rutin sebelum puasa dimulai pada kepercayaan lama Kristen. Maka untuk sekadar tertawa, moment yang agung itu, orang-orang begitu serius mencari waktu yang tepat sebelum akhirnya masing-masing memasang lagi mimik wajah penuh kerut. Dan tawa seketika reda.

Ironi dan parodi terkadang ampuh menjadi pendobrak kemacetan tubuh dan pikiran. Ia hadir sebagai kritik. Namun kadang keduanya menjadi momok menakutkan bagi para kaum elegant seperti: cendikia, ilmuan, saintis, teknokrat, bahkan kaum agamawan. Mereka terlalu ambisius mendapat predikat Manusia Super (Nietzschean). Maka pada kondisi semacam ini adalah Hans Magnus Enzensberger intelektual sekaligus penyair yang memilih keluar dari barisan orang banyak, untuk menertawakan cita-cita besar manusia yang terangkum dalam agama, filsafat, dan teknologi. Tidak hanya tertawa kepada yang lain, tetapi ia legowo untuk menertawakan dirinya sendiri. Sebuah resiko dijauhi dari pergaulan tentunya.
Kesan inilah yang saya tangkap dari seorang Hans Magnus Enzensberger melalui puisi-puisinya dalam antologi CORET YANG TIDAK PERLU yang terbit atas kerjasama antara majalah sastra Horison dan Goethe Institut. Penyair sekaligus intelektual publik ini lahir di Kaufbeuren (Jerman Selatan) 11 November 1929. Ia merupakan penyair Jerman terbesar saat ini. Puisi-puisinya begitu kuat memainkan ironi hingga mendapat julukan Setan Ironi dan Setan Parodi. Ironi yang dimainkan memang terkadang begitu halus, sehingga perlu dua kali membaca untuk benar-benar merasakan kejutan bahasa yang dimainkan Enzensberger.
Permainan (baca: stilistika) bahasa demikian mungkin terkait erat dengan pembalikan terhadap realitas yang dicerapnya dari realitas jaman (ruang dan waktu). Seperti tertulis dalam pengantar antologi puisi oleh Berthold Damhauser, bahwa Enzensberger kecil hidup di bawah kekuasan Sang Rasis, Hitler. Idiologi Nazi begitu mempengaruhi mentalnya yang waktu itu berusia sembilan tahun. Enzensberger pernah mengatakan “aku bukan seorang dari kita!”. Sikap yang begitu jelas memilih jalan lain untuk tidak terbawa pada arus Common sense dengan C besar bernada mayor. Pada puisinya yang berjudul “Sains Astral” permainan ironi itu sangat terasa. Kau lirik adalah -seorang kosmolog yang sangat paham terkstur sekaligus struktur semesta. Namun tetap saja ia tidak mampu berbuat apa-apa ketika giginya sakit, atau ketika ujug-ujug birahinya melonjak ketika melihat nyonya molek, entah istri siapa, yang sudah barang tentu tidak paham soal superstring.
Dunianya berbentuk nyaristiada dan tiada, /superstring yang gentayangan/dalam ruang sepuluh dimensi,/ strangeness, colour, spin, dan charm -//tapi jika sang kosmolog/ sakit gigi;/atau di St. Moritz/ melaju dengan skinya/ menyantap selada kentang/... /maka dongeng-dongeng matematika menguap,/ formula-formula mencair/ dan dari dunia sananya dia kembali/ ke dunia sehari-hari/(hal-131).
Bait kedua yang berbunyi: tapi jika sang kosmolog/sakit gigi/ merupakan kejutan yang tidak terduga. Di sanalah menurut saya kerja ironi jadi intensif dan halus karena efek kejut yang sebelumnya belum terlintas dalam kesadaran pembaca terjadi begitu saja. Dan saya setidaknya bisa tersenyum untuk itu. Selain itu, Enzensberger seolah ingin menghadirkan rutinitas yang manusiawi lewat ironinya. Bagaimana seorang yang sibuk dengan hal-hal besar ternyata juga begitu menikmati ski, selada kentang, dan rutinitas biasa saja yang menolak keseriusan berikir. Kegiatan “kecil“ tersebut tidak hadir sebagaimana para filsuf berkubang pada metafisika. Peristiwa tersebut hadir sebagai kejadian yang sangat sederhana, manusiawi, tanpa berusaha melakukan pembelaan atau berapologi dengan hal-hal mewah dan rumit.
Berbeda dengan Brecht yang juga kuat dengan ironi, Enzensberger hampir tidak bernafsu mengejar tujuan dalam puisinya. Jika Brecht sebagai seorang aktivis percaya bahwa puisi dapat dijadikan kritik keras atau bahkan alat perjuangan untuk tidak mengatakan sumber pergerakan dan revolusi, di tangan Enzensberger yang lebih condong pada [wilayah] intelektual, puisi justru merupakan sikap yang paling otentik dari sebuah skeptisisme dan inkonsistensi terhadap kebenaran tunggal. Masih dalam pengantar antologi puisi ini, Agus R Sarjono megatakan bahwa Enzensberger lebih cenderung bersikap dingin dan objektif terhadap sesuatu yang dihadapi. Sementara Brecht menggebu-gebu karena yakin atas keberpihakannya terhadap sesuatu.
Puisi Enzensberger yang lain berjudul ”Rondeau”. Pada puisi ini tergambar hubungan dilematis antara bahasa dan manusia. Dua entitas yang mustahil dipisahkan namun juga kontrdiktif. Masih dengan ironi yang kuat, Enzensberger memosisikan manusia yang sering memanipulasi bahasa namun sayangnya justru ia (baca: manusia) sendirilah yang harus menanggung akibatnya. /bicara itu gampang// tapi kata-kata tidak bisa dimakan./ maka buatlah roti./ membuat roti itu sulit./ maka jadilah tukang roti./. Bahasa dalam puisi ini tentu bukanlah objek di hadapan para linguis yang siap dengan pisau analisisnya. Tetapi bahasa dalam puisi ini adalah Kehadiran itu sendiri. Ia adalah wakil dari realitas yang ter-bahasa-kan namun juga selalu luput menangkapnya[]

Penulis bergiat di Kubah Budaya tinggal di Serang.

Tidak ada komentar: