Jumat, 29 Maret 2013

KEMBANG TUJUH RUPA MENGERING DI PASAR LAMA

EMPAT meja kecil bertabur kembang tujuh rupa. Saya berusaha melihat lebih dekat jenis kembang yang ada di atasnya. Si penjual hanya tersenyum ramah melihat dagangannya diperhatikan sedemikian rupa. Katil, mawar, melati, kenanga, kembang kertas, sedap malam, dan kamboja.

Sabtu, 23 Maret 2013, siang yang panas, tangan Munah (52) masih menusukkan jarum ke kelopak kembang menjadi untaian seperti kalung manik-manik di dada perawan.
Perempuan yang akrab disapa ‘Bu Mun’ ini mengenakan kebaya merah. Dari usia, Bu Mun lebih tua dibanding rekan penjual kembang lainnya.

Nur (30), perempuan lain yang lebih muda dari Bu Mun, menakar kembang ke dalam kantong kresek hitam. Bungkusan kembang itu siap dijual dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per kantong. Mimin dan Juleha tampak asik dengan obrolan tentang keluarga masing-masing. Mereka adalah penjual kembang tujuh rupa di Jalan  Serang-Kasemen, Pasar Lama, Kota Serang.

Sambil membuat untaian kalung kembang berwarna-warni, sesekali Bu Mun menyemprotkan air dari botol bekas air mineral yang sudah diberi lubang-lubang kecil di bagian tutupnya. “Biar kembang tidak cepat kering dan layu,” ucap Bu Mun.

Hingga pukul 14.00 WIB, Bu Mun mengaku belum dapat 'penglaris'. Kalungan kembang sudah empat yang selesai ia buat. Siap disematkan pembeli pada nisan. “Kalau hari biasa begini paling hanya satu-dua pembeli saja,” katanya.

“Kamis malam Jumat biasanya paling banyak orang membeli kembang di sini,” timpal Nur sambil terus menakar kembang tujuh rupa yang sudah dicampur ke dalam kantong kresek hitam. “Walau di Banten Lama ada yang jual kembang tujuh rupa, kami sudah punya langganan di sini,” tambah Nur.

Setiap sore, Bu Mun, Nur, Mimin dan Juleha mengaku menerima kiriman kembang dari para tetangga. Mereka membeli dengan harga Rp 2.000 per kantong. “Kalau sedang tidak memegang uang, biasanya tetangga hanya menyerahkan kembangnya untuk dijual. Sore harinya saya setor kepada mereka,” ungkap Bu Mun.

Selain menjual kembang, di atas meja masing-masing tampak botol-botol kecil berisi misik, minyak melati, minyak duyung, seribu kembang, dan lain-lain. Bu Mun mengatakan seandainya cukup modal, ia ingin juga menjual perlengkapan kafan untuk jenazah. “Kalau ada modal, saya ingin juga seperti mereka menjual kain kafan yang sudah dipaketkan sperti mereka itu,” harap Bu Mun sambil menunjuk toko yang berada disiberang jalan.

Menjelang lebaran merupakan hari yang ditunggu oleh mereka berempat. Pasalnya, para peziarah bisa datang dari mana saja. Selain itu, bukan hanya Banten Lama yang didatangi peziarah, tapi Tempat Pemakaman Umum (TPU) pun akan ramai diziarahi oleh sanak keluarga.

“Kalau lebaran, banyak pembeli dari mana-mana. Tidak hanya pemakaman Banten Lama yang ditaburi kembang tujuh rupa, pemakaman keluarga pun akan bertaburan kembang,” kata Nur sambil menampakkan senyum berbinar.

“Hari biasa seperti ini *mah *dapat Rp 30.000 saja sudah bagus,” tambah Nur.

Sementara itu hari terus beranjak sore. Kembang tujuh rupa di atas meja-meja kecil masih menumpuk dan mulai terlihat kecokelatan. Layu. Hari ini pembeli kembang tidak ada. Kesegaran kembang yang ada di meja sudah tak mungkin lagi dipertahankan walau sudah disemprot air dari botol mineral berkali-kali.

“Saya akan buang kembang yang sudah layu ini di belakang rumah,” kata Bu Mun sambil mengemasi dagangannya dengan wajah yang layu pula.

Tidak ada komentar: