EMPAT meja kecil bertabur
kembang tujuh rupa. Saya berusaha melihat lebih dekat jenis kembang
yang ada di atasnya. Si penjual hanya tersenyum ramah melihat
dagangannya diperhatikan sedemikian rupa. Katil, mawar, melati, kenanga,
kembang kertas, sedap malam, dan kamboja.
Sabtu,
23 Maret 2013, siang yang panas, tangan Munah (52) masih menusukkan
jarum ke kelopak kembang menjadi untaian seperti kalung manik-manik di
dada perawan.
Perempuan
yang akrab disapa ‘Bu Mun’ ini mengenakan kebaya merah. Dari usia, Bu
Mun lebih tua dibanding rekan penjual kembang lainnya.
Nur
(30), perempuan lain yang lebih muda dari Bu Mun, menakar kembang ke
dalam kantong kresek hitam. Bungkusan kembang itu siap dijual dengan
harga Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per kantong. Mimin dan Juleha tampak
asik dengan obrolan tentang keluarga masing-masing. Mereka adalah
penjual kembang tujuh rupa di Jalan Serang-Kasemen, Pasar Lama, Kota
Serang.
Sambil
membuat untaian kalung kembang berwarna-warni, sesekali Bu Mun
menyemprotkan air dari botol bekas air mineral yang sudah diberi
lubang-lubang kecil di bagian tutupnya. “Biar kembang tidak cepat kering
dan layu,” ucap Bu Mun.
Hingga
pukul 14.00 WIB, Bu Mun mengaku belum dapat 'penglaris'. Kalungan
kembang sudah empat yang selesai ia buat. Siap disematkan pembeli pada
nisan. “Kalau hari biasa begini paling hanya satu-dua pembeli saja,”
katanya.
“Kamis
malam Jumat biasanya paling banyak orang membeli kembang di sini,”
timpal Nur sambil terus menakar kembang tujuh rupa yang sudah dicampur
ke dalam kantong kresek hitam. “Walau di Banten Lama ada yang jual
kembang tujuh rupa, kami sudah punya langganan di sini,” tambah Nur.
Setiap
sore, Bu Mun, Nur, Mimin dan Juleha mengaku menerima kiriman kembang
dari para tetangga. Mereka membeli dengan harga Rp 2.000 per kantong.
“Kalau sedang tidak memegang uang, biasanya tetangga hanya menyerahkan
kembangnya untuk dijual. Sore harinya saya setor kepada mereka,” ungkap
Bu Mun.
Selain
menjual kembang, di atas meja masing-masing tampak botol-botol kecil
berisi misik, minyak melati, minyak duyung, seribu kembang, dan
lain-lain. Bu Mun mengatakan seandainya cukup modal, ia ingin juga
menjual perlengkapan kafan untuk jenazah. “Kalau ada modal, saya ingin
juga seperti mereka menjual kain kafan yang sudah dipaketkan sperti
mereka itu,” harap Bu Mun sambil menunjuk toko yang berada disiberang
jalan.
Menjelang
lebaran merupakan hari yang ditunggu oleh mereka berempat. Pasalnya,
para peziarah bisa datang dari mana saja. Selain itu, bukan hanya Banten
Lama yang didatangi peziarah, tapi Tempat Pemakaman Umum (TPU) pun akan
ramai diziarahi oleh sanak keluarga.
“Kalau
lebaran, banyak pembeli dari mana-mana. Tidak hanya pemakaman Banten
Lama yang ditaburi kembang tujuh rupa, pemakaman keluarga pun akan
bertaburan kembang,” kata Nur sambil menampakkan senyum berbinar.
“Hari biasa seperti ini *mah *dapat Rp 30.000 saja sudah bagus,” tambah Nur.
Sementara
itu hari terus beranjak sore. Kembang tujuh rupa di atas meja-meja
kecil masih menumpuk dan mulai terlihat kecokelatan. Layu. Hari ini
pembeli kembang tidak ada. Kesegaran kembang yang ada di meja sudah tak
mungkin lagi dipertahankan walau sudah disemprot air dari botol mineral
berkali-kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar