Minggu, 10 Maret 2013

Petang di Taman: Pertunjukkan yang Absurd

SERANG - Sebuah bangku panjang dan lampu taman yang menyala temaram. Seorang lelaki separuh baya terbangun dari tidur karena batuk orangtua. Keduanya membuka percakapan, pertanyaan, tebakan tentang cuaca. Suara guntur menggelegar, dan si kakek mengatakan bahwa hari akan hujan. Sementara si lelaki muda menyangkal karena musim sedang kemarau.

Perdebatan tentang cuaca membuka pementasan "Petang di Taman" oleh anggota baru Gesbica IAIN SMH Banten. Pementasan yang diangkat dari naskah karya Iwan Simatupang ini memang terkesan berat untuk dinikmati. Percakapan para aktor yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana namun sulit dijawab membuat teka-teki yang melibatkan para penonton dalam pertanyaan-pertanyaan dan jawaban sementara. 

Seperrti ketika tokoh orangtua yang menebak bahwa hari akan hujan. Sementara si lelaki setengah baya menyangkal dengan alasan bahwa sedang musim kemarau. Guntur terus saja menggelegar di atas kepala keduanya. Keduanya akhinya tidak melanjutkan perdebatan karena orangtua mengatakan bahwa antara dirinya dan si lelaki paruh baya sebenarnya tidak ada kebenaran. Kebenaran itu hanya dugaan-dugaan. Meminjam istilah Nietzsche bahwa kebenaran adalah kesalahan yang tanpanya manusia tidak dapat hidup.

Naskah Petang di Taman ini memang bukan naskah ringan untuk dimainkan oleh para pemula. Dialog yang disajikan Iwan Simatupang dalam naskah ini memang terkesan konyol. Namun jika kembali direnung ulang, dialog dalam naskah ini
sarat dengan percikan ide filosofis tentang motif tindakan manusia. Misalnya saja ketika si orangtua memecahkan baloh milik penjual balon.

Lelaki separuh baya marah-marah kepada orangtua dan menanyakan apa alasan orangtua memecahkan balon. Dengan nada enteng orangtua hanya menjawab: "Saya memecahkan balon hanya karena ingin memecahkan". Setelah itu si orangtua berkata, "Tidak semua tindakkan manusia bisa ditanya alasannya".

Tokoh lain dalam pementasan ini adalah penjual balon dan wanita. Penjual balon merupakan tipe lelaki pengecut. Sementara si wanita adalah korban percintaan dengan para lelaki dan si penjual balon. Secara keseluruhan pementasan ini sudah menarik. Namun persoalan teknis memang kadang mengganggu pertunjukkan. Terlihat bahwa pertunjukkan ini digarap terburu-buru. 

Saya menduga bahwa tepuk tangan dan tawa penonton hanya dipicu oleh tindakkan aktor yang masih lugu di panggung. Aktor seperti tubuh mekanis yang hanya bekerja menghafal naskah dan mengucapkan ulang di panggung. Akibatnya, kata yang diujarkan tokoh seperti tempelan tanpa terasa penghayatan.

Kekurangan dari segi teknis lainnya ialah lampu taman yang menyala dari awal hingga akhir pertunjukkan. Padahal, setting yang harusnya pada siang hari tentu tidak membutuhkan cahaya dari lampu jalan.

Selain itu, penampilan aktor masih sangat mentah untuk memerankan tokoh masing-masing. Inilah yang menjadikan pertunjukkan yang kuat dengan nuansa filosofis ini menjadi gadung dengan tubuh aktor yang bekerja seperti radio yang memutar ulang hasil rekaman suara. Dari hal semacam saya baru sadar bahwa perlu adanya kajian mendalam mengenai diskusi naskah yang akan diperankan di panggung. Diskusi ini berguna untuk membekali para aktor sebelum memainkan perannya masing-masing.

Untuk itu, naskah yang sarat dengan absurditas jangan pula ditambah dengan absurdnya garapan pementasan. Namun lagi-lagi saya merasa tenang karen apara pemain yang ikut dalam kegiatan ini merupakan anak muda yang baru terjun ke dunia teater yang masih punya banyak waktu untuk terus belajar.

Tidak ada komentar: