SERANG - Sebuah bangku
panjang dan lampu taman yang menyala temaram. Seorang lelaki separuh
baya terbangun dari tidur karena batuk orangtua. Keduanya membuka
percakapan, pertanyaan, tebakan tentang cuaca. Suara guntur menggelegar,
dan si kakek mengatakan bahwa hari akan hujan. Sementara si lelaki muda
menyangkal karena musim sedang kemarau.
Perdebatan
tentang cuaca membuka pementasan "Petang di Taman" oleh anggota baru
Gesbica IAIN SMH Banten. Pementasan yang diangkat dari naskah karya Iwan
Simatupang ini memang terkesan berat untuk dinikmati. Percakapan para
aktor yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana namun sulit
dijawab membuat teka-teki yang melibatkan para penonton dalam pertanyaan-pertanyaan dan jawaban sementara.
Seperrti
ketika tokoh orangtua yang menebak bahwa hari akan hujan. Sementara si
lelaki setengah baya menyangkal dengan alasan bahwa sedang musim
kemarau. Guntur terus saja menggelegar di atas kepala keduanya. Keduanya
akhinya tidak melanjutkan perdebatan karena orangtua mengatakan bahwa
antara dirinya dan si lelaki paruh baya sebenarnya tidak ada kebenaran.
Kebenaran itu hanya dugaan-dugaan. Meminjam istilah Nietzsche bahwa
kebenaran adalah kesalahan yang tanpanya manusia tidak dapat hidup.
Naskah
Petang di Taman ini memang bukan naskah ringan untuk dimainkan oleh
para pemula. Dialog yang disajikan Iwan Simatupang dalam naskah ini
memang terkesan konyol. Namun jika kembali direnung ulang, dialog dalam
naskah ini
sarat
dengan percikan ide filosofis tentang motif tindakan manusia. Misalnya
saja ketika si orangtua memecahkan baloh milik penjual balon.
Lelaki
separuh baya marah-marah kepada orangtua dan menanyakan apa alasan
orangtua memecahkan balon. Dengan nada enteng orangtua hanya menjawab:
"Saya memecahkan balon hanya karena ingin memecahkan". Setelah itu si
orangtua berkata, "Tidak semua tindakkan manusia bisa ditanya
alasannya".
Tokoh
lain dalam pementasan ini adalah penjual balon dan wanita. Penjual
balon merupakan tipe lelaki pengecut. Sementara si wanita adalah korban
percintaan dengan para lelaki dan si penjual balon. Secara keseluruhan
pementasan ini sudah menarik. Namun persoalan teknis memang kadang
mengganggu pertunjukkan. Terlihat bahwa pertunjukkan ini digarap
terburu-buru.
Saya
menduga bahwa tepuk tangan dan tawa penonton hanya dipicu oleh
tindakkan aktor yang masih lugu di panggung. Aktor seperti tubuh mekanis
yang hanya bekerja menghafal naskah dan mengucapkan ulang di panggung.
Akibatnya, kata yang diujarkan tokoh seperti tempelan tanpa terasa
penghayatan.
Kekurangan
dari segi teknis lainnya ialah lampu taman yang menyala dari awal
hingga akhir pertunjukkan. Padahal, setting yang harusnya pada siang
hari tentu tidak membutuhkan cahaya dari lampu jalan.
Selain
itu, penampilan aktor masih sangat mentah untuk memerankan tokoh
masing-masing. Inilah yang menjadikan pertunjukkan yang kuat dengan
nuansa filosofis ini menjadi gadung dengan tubuh aktor yang bekerja
seperti radio yang memutar ulang hasil rekaman suara. Dari hal semacam
saya baru sadar bahwa perlu adanya kajian mendalam mengenai diskusi
naskah yang akan diperankan di panggung. Diskusi ini berguna untuk
membekali para aktor sebelum memainkan perannya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar