Kamis, 28 Maret 2013

Midnight in Paris : Saat Woody Allen Menjungkirbalikkan Waktu

Apa kamu punya pengalaman tengah malam yang mengagumkan di Paris? Hmm kalau belum pernah, saya kasih rekomendasi film yang bisa kamu tonton untuk bisa merasakan indahnya tengah malam di Paris.

Yah, Midnight in Paris. Film yang satu ini disutradarai oleh Woody Allen, Sutradara multi-talen yang bernama lengkap Allen Stewart Konigsberg juga merupakan aktor, penulis, musikus (klarinet), dan pelawak yang cerdas. Allen adalah salah seorang sutradara paling berpengaruh pada zaman modern berkat film-filmnya yang cenderung menggarap isu intelektual. Seringkali ia turut berakting dalam film-film arahannya. Yang menjadi inspirasi Allen antara lain sastra, filsafat, psikologi, dan lain-lain. Annie Hall adalah film Woody Allen yang paling terkenal di tanah air.

Melalui *Midnight in Paris *(2011) ini, Allen kemabali membuktikan kepiawaiannya dalam menggarap film serius namun tidak kehilangan mood untuk ditonton anak muda yang suka dengan kisah romasa.


Dikisahkan Gil Pender (Owen Wilson) dan Inez (Rachel McAdams) sebagai sepasang kekasih dari Amerika yang sudah berkomitmen untuk menikah. Menjelang pernikahan, mereka berlibur ke Paris untuk mengabadikan cinta.

Gil adalah seorang novelis yang baru memulai debut pertama kepenulisannya. Gil adalah tipe cowok romantis yang jatuh hati kepada Kota Paris yang menjadi tempat singgah dan berkarya para seniman dan sastrawan besar yang dikaguminya seperti Ernest Hemingway, F. Scott Fitzgerald, Salvador Dali, Pablo Picasso dan sebagainya. Sedangkan Inez tipe cewek Amerika yang pragmatis dan menganggap hal-hal yang dikagumi Gil itu berlebihan dan tak berguna.

Sampai suatu malam setelah Gil dan Inez menghadiri pesta, sahabat Inez mengajak Gil turut serta untuk pesta dansa berikutnya. Gil menolak. Gil memilih untuk menghabiskan waktu mencari inspirasi untuk novel yang sedang ditulisnya dengan menelusuri lorong-lorong Kota Paris hingga tengah malam.

Dalam perjalanan itu tanpa disadari, Gil tersesat di sebuah lorong gang. Ia bertanya alamat kepada sepasang kekasih namum mereka tidak mengerti Bahasa Inggris yang digunakan Gil. Gil yang putus asa akhirnya memilih duduk di sebuah tangga rumah dan tidak lama setelah itu terdengarlah bunyi lonceng menandakan waktu sudah tengah malam.

Tiba-tiba tanpa disangka, Peugeot tua berhenti di hadapan Gil. Keluar dari mobil tersebut rombongan orang tidak dikenal namun ramah mengajak Gil ke sebuah pesta. Gil yang bingung akhirnya menerima tawaran itu. Tanpa disangka, setiba di ruang pesta, seorang perempuan berambut pirang sebahu menghampiri dan menangkap kebingungan Gil. Perempuan itu mengaku bernama Zelda Fitzgerald. Kemudian Zelda memanggil kekasihnya Scott Fitzgerald.

Masih dalam keadaan bingung, Gil diajak pasangan itu menemui lelaki berkumis tebal yang sedang asyik duduk di sebuah sudut ruangan bar. Lelaki itu mengaku bernama Ernest Hemingway. Alhasil, Gil terbengong-bengong dengan apa yang sedang disaksikannya. Ia tidak percaya bahwa malam itu ia bisa bertemu, berjabat tangan, dan bercengkrama bebersama para idola yang selama ini hanya ia baca karya-karyanya.

Setelah pertemuan itu, Gil baru sadar bahwa ia terseret ke dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Gil telah memasuki masa lalu dimana para tokoh idolanya hidup dan berkarya. Hinggga pada pertemuan-pertemuan selanjutnya Gil menceritakan peristiwa itu kepada Inez, calon istrinya. Bukan sambutan hangat dari Inez yang diterima, calon istrinya itu malah menganggap Gil mengidap skizofrenia atau gejala kaburnya batas khayalan dan kenyataan akibat terlampau memeras otak untuk berfantasi.

Pada pertemuan-pertemuan berikutnya, Gil berjumpa dengan sang maestro lukisan beraliran kubisme, Pablo Picasso. Gil juga berjumpa dengan perempuan anggun dan supel idaman Picaso bernama Adriana yang diperankan Marion Cottilard. Adriana mengaku datang ke Paris untuk belajar fashion. Karena kecantikan Adriana inilah Picaso dan Hemingway saling sikut untuk mendapatkan cinta si jelita. Gil yang sudah bertunangan dengan Inez di ruang dan waktu saat ini pun kepincut kelembutan paras Adriana.

Menyaksikan ini Woody Allen seperti sengaja seperti membuat lebur ruang dan waktu masa lalu dan hari ini. Keduanya ditukar-tukar, dijungkirbalikkan, dikocok hingga penonton pun ragu, apakah kita hidup pada hari ini atau masa lalu. Keduanya hadir bergiliran dan saling tarik menarik. Seperti halnya saat kita menatap benda paling berharga yang diberikan seseorang sebagai hadiah ulang tahun pada masa yang lalu. Kita akan tersedot dalam kenangan akan si pemberi benda itu. Masa-masa indah, masa-masa sulit pada waktu lalu pun hadir di kepala kita yang hidup hari ini.

*Pada keramik tanpa nama itu, ternyata mataku belum tolol untuk sesuatu yang tidak ada, *kata Goenawan Muhamad. Baju hadiah dari si pacar, walau pun sudah tidak lagi menjalin cinta dengan kita, toh tetap punya riwayat yang istimewa. Atau barang kali musik yang sering kita dengar saat kasmaran dengan seseorang, akan punya energi untuk mengembalikan kenangan lalu pada saat kita jatuh hati kepada seseorang itu.

Seperti itulah film *Midnight in Paris *ini. Gil melebur antara masa lalu dan hari ini. Ia hidup di dua masa. Dan Parislah yang mampu menghadirkan semua itu. Kota cantik ini tidak hanya anggun dari bentuk arsitektur, tetapi lebih dari itu Paris menyimpan masa lalu dan peradaban yang besar.

Peristiwa yang menghubungkan Gil dengan masa lalu itu adalah bunyi lonceng. Tepat setelah lonceg tengah malam berbunyi, Gil akan kembali ziarah ke masa lalu yang menyimpan apa saja yang berharga bagi Gil Pender. Setelah lonceng tengah malam Kota Paris berbunyi, para seniman besar menjemput Gil untuk berbagi kebahagian yang bukan hanya sekadar materi tetapi lebih dari itu Gil menemukan katarsis (pencerahan) batin untuk memompanya dalam menuliskan karya hebat yang kelak akan dicatat dalam sejarah.

Adegan lucu terjadi ketika calon mertua Gil menyewa seorang detektif untuk memata-matai Gil yang sering menghilang pada waktu malam. Naasnya si detektif bayaran tersebut malah tersesat di istana kerajaan Prancis era 1920-an dan tidak bisa kembali lagi.  Di sinilah kecerdasan Woody Allen menggelindingkan kisah. Akhirnya penonton diajak masuk pada sikap keragu-raguan atau semacam sikap agnostik untuk mengatakan bahwa: saya hidup di sini, hari ini! Hingga pada akhirnya Gil yang sudah terlanjur kasmaran terhadap Kota Paris memilih tinggal di Paris. Konsekuensinya, ia memutuskan hubungan pertunangannya dengan Inez. Gil lebih memilih Kota Paris yang anggun dan ramah terhadap cita-citanya sebagai penulis yang percaya bahwa: masa lalu, selalu lebih indah dari hari ini. (wahyu)***


Tidak ada komentar: