Jumat, 29 Maret 2013

Si Musafir Di Persimpangan Jalan: Membaca Puisi-Puisi Syukur A. Mirhan


Oleh: Wahyu Arya

Jika ada sebuah jalan bercabang dan Si Musafir berdiri di antara keduanya, pilihan jalan yang satu tentu akan menggugurkan jalan yang lain. Begitu pula dengan jalan yang ditempuh Syukur A. Mirhan (selanjutnya SAM) di awal kepenyairannya.  Ia lebih memilih jalan sunyi. Si Musafir, begitu berulangkali ia menyebut dirinya, lebih gandrung pada yang hening-tenang. Pada jalan itu pula, ia menemukan dirinya sendiri. Ke-diri-an pun utuh manakala suara-suara, hiruk pikuk kehidupan di luar diri banyak mengalihkan dari Kekasih atawa Sang Penatap. Sampai di sini, kenalilah diri maka kamu akan mengenal Tuhanmu, benar ketika Si Musafir selalu dalam keadaan ingat akan tujuan perjalanannya.
Dalam keadaan terjaga seorang musafir/hamba/pecinta/fakir justru terjadi pembalikan sudut pandang pada waktu dan tempat kini. Apa yang dihadapai nyata secara ragawi tiba-tiba menjadi sekadar ilusi di hadapan yang rohani. Akibatnya perjalanan Si Musafir bukan lagi pada perpindahan tempat dan bergantung dari jauhnya jarak tempuh dari titik tujuan. Perjalanan adalah semacam keputusan untuk (senantiasa) berangkat/hijrah minnal ad-dzulumati illan al-nnur. Perjalanan itu lebih pada gerak tubuh, hati, dan pikiran terus menerus tanpa lelah dan final menuju lintasan spiritual hingga menemukan Sarang Rindu yang telah lama menggedor-gedor kalbu. Jalan ini rupanya yang membetot SAM dari panggung duniawi yang riuh oleh tepuk tangan (pujian) dan caci maki (hinaan) para penenonton-fana. Sajak-sajak yang ditulis di awal kepenyairan SAM berjudul:  Jenuh Ini Jiwa Bersetubuh dengan Raga”,  Dari Panggung Ke Panggung Sandiwara”, “Back to Mosque!”, “Di Luar Jendela Kereta 1”, “Di Luar Jendela 2”, “Si Burung Bersayap Buntung”,  “Berjalan Dari Jungke Ke Temboro, Menjelang Senja”,  dan “Orang Asing”, cukup kuat mendudukan penyair ini pada kentalnya nuansa religiusitas, walau tidak total menggarap cinta mistik dalam khasanah sufistik.  

Pada sajak “Jenuh Ini Jiwa Bersetubuh dengan Raga” tampak sekali kegairahan badani ditolak—bahkan pada diksi yang digunakan—karena tubuh/raga tidak lain merupakan sumber dosa. Kelezatan tubuh, tidak bisa tidak selalu mengarah pada hal-hal yang melenakan juga mendorong pada dosa dan penyesalan. Maka tidak aneh jika di beberapa aliran kepercayaan, karena kebahagiaan jiwa dianggap lebih penting dari kenikmatan tubuh, alih-alih tubuh hanya dianggap sebagai sesuatu yang fana dan rusak. Pada akhirnya sikap inilah yang kemudian mengerangkeng tubuh/raga. Kasus dari pandangan ini mengarah pada asketisme yang berujung selibat sebagai upaya untuk menyucikan jiwa secara terus menerus.

Ah, jenuh ini jiwa bersetubuh dengan raga.
Sebab senantiasa membenihkan dedosa
Dan melahirkan sumur penyesalan bagi umur
Tempat seluruh perih kembara berkubur
(Sajak “Jenuh Ini Jiwa Bersetubuh Dengan Raga”)

Jika hal ihwal dunia sudah fana, maka hidup di dalamnya tidak lebih dari sekadar permainan. Dalam permainan tersebut masing-masing orang memiliki perannya masing-masing. Peran atau lelaku dalam kehidupan itu sendiri merupakan takdir yang harus dijalankan sesuai dengan sekenario Agung. Dalam sajak berjudul Dari Panggung Ke Panggung Sandiwara” seperti kembali mengingatkan pada larik yang cukup terkenal karya Taufiq Ismail: dunia ini panggung sandiwara. Bahwa dunia hanya permainan peran yang segera ditinggalkan para penonton begitu petunjukkan usai. Setelah itu para aktor kembali disergap sunyi diri masing-masing.

Satu demi satu pulanglah penonton
Tanpa seorang pun mau menitipkan
Walau hanya sedengung tepuktangan
Untuk disimpan di relung kesepian

…………………………………………………………
Di ending pertunjukan yang terakhir
Rumentang Siang kosong dan hening
Seperti ruangrenung seorang aktor
Ditinggal ruhbatin yang putihbening
(SajakDari Panggung Ke Panggung Sandiwara”)

Pandangan yang mendudukan dunia sebagai yang fana dalam tradisi sufistik mungkin karena seseorang telah melakukan perjuangan (mujahadah) untuk meninggalkan nafsu rendah sebagaimana tersirat dalam puisi berjudul “Jenuh Ini Jiwa Bersetubuh dengan Raga”. Setelah perjuangan untuk meninggalkan yang fana itu terlewati, maka tahap penyaksian batiniah (musyahadah) terhadap ketunggalan Tuhan menjadi nyata sehingga seseorang akan merasa yakin sepenuhnya akan ke-esa-an Tuhan (haqq al-yaqin). Jiwa yang menerima kondisi rohani semacam itu disebut faqir, yaitu kesadaran tidak memiliki apa pun selain cinta kepada-Nya dan karenanya bebas dari kungkungan selain Dia. Megenai sikap terakhir ini, kefanaan dunia tidak lantas melenyapkan segalanya selain Dia, yakni alam sekitarnya, dunia dan sesamanya, tetapi semua itu dilihat semata karena terpaut dengan-Nya.[1] Alam semesta akan tampak sebagai sajadah dan kitab dimana seseorang pada maqam ini selalu dapat melihat dan belajar akan hakikat di balik sesuatu. /Kepada bumi/ Belajarlah kita/ Ketakterbatasan sabar//Kepada langit/ Belajarlah kita/ Keleluasan fikir// Kepada segara/ Belajarlah kita/ Kejembaran dada//Kepada padi/ Belajarlah kita/ Kerendahan hati//Kepada hujan/ Belajarlah kita/Mencurahkan kasih//Kepada Isa/ Belajarlah kita/ Kelezatan papa//Kepada Baginda/ Belajarlah kita/ Kesempurnaan hamba//Kepada Rabbi/ Belajarlah kita/ Kedhaifan diri// (Sajak “Belajarlah Kita”).
 Pada perjalanan kepenyairan SAM sajak-sajak yang ditulisnya seperti halnya media komunikasi antara jiwa dengan Tuhan. Percakapan itu terus saja disusun melalui larik-larik pengalaman batin penyairnya. Kecenderungan pada kegairahan rohani ternyata menyita seluruh kesadaran aku lirik yang hampir terdapat hampir di sebagian besar sajak-sajaknya. Sajak yang cukup bening berjudul “Back to Mosque!” menunjukkan bagaimana segala aktivitas akan selalu menuju apa yang menjadi tujuan rindu. Kalau sudah begini seseorang tidak lagi merasa cemas dan sepi karena selalu ada yang menemaninya, yang tak lain adalah Allah swt.

Sesunyi malam ngajakku i’tikaf
Bertaqarrub di masjid ma’frifat
Ditemaninya aku lekat dan lezat
Menatap matacahaya Penatap

Dari bait awal di atas, tampak kegairahan bermuwajahah (face to face) dalam i’tikaf dengan  Sang Penatap. Momen seperti ini bisa jadi suatu kelezatan yang hakiki mana kala tiada lagi hijab akibat rutinitas lain di luar yang semakin menjauhkan kedekatan (qurb) makhluk dengan Sang Khaliq. Dari bangun bait pertama yang bening tersebut, cukup disayangkan bahwa penyair justru mengakhiri dengan ungkapan yang enteng dan verbal.

Dari kudus cakrawala bandung utara
Nerabas pepucuk rindu pepohon cinta
Meresap senyap melintas lembut
Sekelebat Kalimat nembus kekabut

: Back to Mosque!
(Sajak “Back to Mosque!)

Penyair menyebut Tuhan dalam puisi ini sebgai Penatap. Layaknya mercusuar seluruh gerak hamba selalu dalam pengawasan-Nya. Namun di balik pengawasannya tersebut ada juga cahaya kasih-Nya yang menerangi sudut-sudut gelap manusia. Pengandaian (mitsal) terkait dengan sifat atau Dzat Tuhan itu sendiri sangat kaya justru dalam tradisi sufistik. Kita mengenal simurg, sejenis burung/unggas dengan wujud jelita, banyak digunakan untuk alegori Tuhan yang Maha Indah. Antromorphisme semacam ini mungkin akan dianggap bid’ah atau syirik oleh beberapa kalangan konservatif yang menentang semua bentuk pengandaian Tuhan.
Dalam Musyawarah Burung, Fariduddin ‘Attar menggambarkan bagaimana pengembaraan rohani para pecinta dengan alegori burung. Burung sebagai symbol pendakian yang tidak pernah lelah untuk terbang secara vertikal menuju Tuhan. Pada “Si Burung Bersayap Buntung”, SAM melakukan variasi pendakian rohani dengan masih menggunakan alegori burung sebagai hamba atau para pecinta yang kepayang dengan sarang persinggahan.
………………………………………………….
Burung-burung telah pulang
Kembali ke sarang-sarang
Sempurnakan puji-pujian
Bagi Dzat yang menghidupkan
Sedang aku, tinggal seorang
Adalah si burung bersayap buntung
Malu-malu mengharap hinggap
Dan itikaf di pucukpohonMu yang Agung

(Sajak “Si Burung Bersayap Buntung”)

Aku lirik dalam puisi ini digambarkan sebagai burung yang bersayap buntung yang menghrap dapat singgah/itikaf ke pucuk pohon-Mu. Variasi dalam puisi ini adalah ketika si burung bukan lagi terbakar sayapnya, seperti yang telah banyak digukan dalam puisi sufistik untuk menggambarkan ektase pendakian roh manusia. Tetapi media untuk mendaki/terbang dalam puisi ini justru “dihabisi” di awal. Dengan demikian harapan untuk terbang mencapai puncak pohon-Mu itu hanya sebatas angan-angan yang sulit sekali diwujudkan. Pada titik ini modifikasi untuk menciptakan kesegaran metafor sangat mendesak dalam penciptaan puisi, namun logika sastra juga punya “aturan main” yang tidak sepenuhnya lepas dari logika bahasa pada tingkat pertama. Artinya harapan untuk mencapai puncak pohon atau hanya sekadar singgah pada sarang rindu, hanya sepenuhnya ilusi yang ada dalam angan-angan si aku lirik.
Sebagai sikap konsisten aku lirik dalam sajak-sajak SAM yang memuja kesenangan transendental, sajak “Orang Asing” kembali menguatkan bahwa di manapun berada—tidak satu pun tempat singgah menjadi “rumah” bagi kepulangan batin. Aku lirik di mana pun singgah tidak pernah merasa at home karena kepulangan yang ingin dicapainya adalah kepulangan kekal kepada Tuhan. Sikap ini tidak mengarah pada fatalistik melainkan hanya konsekwensi dari ke-fakir-an seperti telah disinggung di awal, yaitu tidak memiliki dan tidak juga dimiliki dunya. Pada titik ini hanya ada kepasrahan karena ambisi duniawi ditutup, sementara itu alih-alih kepayang ukhrawi yang seharusnya total akan Tuhan belum memperoleh jaminan, karena pada bait terakhir aku lirik justru menutupnya dengan pertanyaan.

Di Bandung
Aku orang asing

Di Bogor
Aku orang asing

Di Sumedang
Aku orang asing

Di Magetan
Aku orang asing

Ya Allah, apakah di kotaMu
Aku kekal jadi orang asing?

(Sajak “Orang Asing”)
***
Dari sekian banyak sajak dalam antologi Rembulan Pun Melapuk Di Reranting Perak (2011) ini terlihat sekali bahwa SAM terombang-ambing antara dua sisi. Pertama, upaya untuk merayakan bahasa. Kedua, beban ide yang kadangkala memaksakan sajak sebagai media dakwah. Sajak-sajak seperti “Syifa Habbatushauda Pertaubatan”, “Tersesat Dalam Julumat”, “Wukuf Dzikrulmaut”, “Dan Kematian Sesungguhnya”, juga “In Memoriam Gempa Jogya” masih terasa benar bahwa ide lebih mendominasi dalam sajak. Ide-ide seperti: taubat, masa-masa kelam hidup manusia, pentingnya mengingat mati, hakikat usia manusia, bencana sebagai akibat dosa manusia seperti sederet pesan yang diartikulasikan melalui bentuk sajak. Sebagaimana lazimnya sebuah pesan, motivasi untuk sampai kepada pembaca juga lebih mendesak.
Selain menempuh jalan sunyi para pencari melalui sajak-sajak religiusnya, SAM pada perjalanan kepenyairan berikutnya rupanya tidak bisa diam untuk tidak menulisa sajak bertema sosial. Ada kesadaran hablumminallah ada juga hablumminannas yang mencoba diusung. Bahwa kesalehan spiritual tidak lantas melenyapkan kesalehan sosial. Sajak “Reruntuhan Manakib Abah Ajengan”, “Sajak Kang Paryono”, “Di Kampung Seluruh Kisah Terasa Santun”, “Selepas Pilpres”, “Kemiskinan Mengundurkan Diri Dari Seluruh Revolusi”, Tukang Daun Pandan Di Gigil Dini Hari Jembatan Merah”, “Kau Kan Penyair? Tak Perlu Menjadi Presiden Indonesia”, “Di Tenggara Suhunan Kota”, “Di Ladang Jejak Kutemukan Bercak-Bercak Sebuah Sajak” merupakan isu-isu sosial yang menggoda untuk ditulis.
Sampai di sini, saya akan sudahi pembahasan melalui tulisan ini karena dua hal. Pertama, rokok saya sudah tandas di asbak dan kopi di cangkir sejak tadi sudah mengering tinggal ampasnya. Kedua untuk menghindari kesan monolog yang asosial dengan tidak melibatkan saudara-saudara sekalian dalam pembicaraan. Sekian, dan mari berdiskusi![*]


*Bahan diskusi buku puisi Rembulan Pun Melapuk Di Reranting Perak (2011), 11 Sepetember 2011 di Rumah Dunia.


[1] Lihat Abdul Hadi W.M. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. (Yogyakarta: Mahatari, 2004)  hal. 137  

Tidak ada komentar: