Oleh: Wahyu Arya
Jika ada sebuah jalan bercabang dan Si
Musafir berdiri di antara keduanya, pilihan jalan yang satu tentu akan
menggugurkan jalan yang lain. Begitu pula dengan jalan yang ditempuh Syukur A.
Mirhan (selanjutnya SAM) di awal kepenyairannya. Ia lebih memilih jalan sunyi. Si Musafir,
begitu berulangkali ia menyebut dirinya, lebih gandrung pada yang
hening-tenang. Pada jalan itu pula, ia menemukan dirinya sendiri. Ke-diri-an
pun utuh manakala suara-suara, hiruk pikuk kehidupan di luar diri banyak mengalihkan
dari Kekasih atawa Sang Penatap. Sampai di sini, kenalilah diri maka kamu
akan mengenal Tuhanmu, benar ketika Si Musafir selalu dalam keadaan ingat
akan tujuan perjalanannya.
Dalam keadaan terjaga seorang
musafir/hamba/pecinta/fakir justru terjadi pembalikan sudut pandang pada waktu
dan tempat kini. Apa yang dihadapai nyata secara ragawi tiba-tiba menjadi sekadar
ilusi di hadapan yang rohani. Akibatnya perjalanan Si Musafir bukan lagi pada
perpindahan tempat dan bergantung dari jauhnya jarak tempuh dari titik tujuan.
Perjalanan adalah semacam keputusan untuk (senantiasa) berangkat/hijrah minnal
ad-dzulumati illan al-nnur. Perjalanan itu lebih pada gerak tubuh, hati,
dan pikiran terus menerus tanpa lelah dan final menuju lintasan spiritual
hingga menemukan Sarang Rindu yang telah lama menggedor-gedor kalbu. Jalan ini
rupanya yang membetot SAM dari panggung duniawi yang riuh oleh tepuk tangan (pujian)
dan caci maki (hinaan) para penenonton-fana. Sajak-sajak yang ditulis di awal
kepenyairan SAM berjudul: “Jenuh
Ini Jiwa Bersetubuh dengan Raga”, “Dari Panggung Ke Panggung Sandiwara”, “Back to
Mosque!”, “Di Luar Jendela Kereta 1”, “Di Luar Jendela 2”, “Si Burung Bersayap
Buntung”, “Berjalan Dari Jungke Ke
Temboro, Menjelang Senja”, dan “Orang
Asing”, cukup kuat mendudukan penyair ini pada kentalnya nuansa religiusitas,
walau tidak total menggarap cinta mistik dalam khasanah sufistik.
Pada sajak “Jenuh Ini Jiwa Bersetubuh dengan Raga”
tampak sekali kegairahan badani ditolak—bahkan pada diksi yang digunakan—karena
tubuh/raga tidak lain merupakan sumber dosa. Kelezatan tubuh, tidak bisa tidak
selalu mengarah pada hal-hal yang melenakan juga mendorong pada dosa dan
penyesalan. Maka tidak aneh jika di beberapa aliran kepercayaan, karena
kebahagiaan jiwa dianggap lebih penting dari kenikmatan tubuh, alih-alih tubuh
hanya dianggap sebagai sesuatu yang fana dan rusak. Pada akhirnya sikap inilah
yang kemudian mengerangkeng tubuh/raga. Kasus dari pandangan ini mengarah pada
asketisme yang berujung selibat sebagai upaya untuk menyucikan jiwa secara
terus menerus.
Ah,
jenuh ini jiwa bersetubuh dengan raga.
Sebab
senantiasa membenihkan dedosa
Dan
melahirkan sumur penyesalan bagi umur
Tempat seluruh perih kembara berkubur
(Sajak “Jenuh Ini Jiwa
Bersetubuh Dengan Raga”)
Jika hal ihwal dunia sudah fana, maka hidup di
dalamnya tidak lebih dari sekadar permainan. Dalam permainan tersebut
masing-masing orang memiliki perannya masing-masing. Peran atau lelaku dalam
kehidupan itu sendiri merupakan takdir yang harus dijalankan sesuai dengan
sekenario Agung. Dalam sajak berjudul “Dari Panggung Ke Panggung Sandiwara” seperti kembali mengingatkan pada larik
yang cukup terkenal karya Taufiq Ismail: dunia
ini panggung sandiwara. Bahwa dunia hanya permainan peran yang segera
ditinggalkan para penonton begitu petunjukkan usai. Setelah itu para aktor
kembali disergap sunyi diri masing-masing.
Satu demi satu pulanglah penonton
Tanpa seorang pun mau menitipkan
Walau hanya sedengung tepuktangan
Untuk disimpan di relung kesepian
…………………………………………………………
Di ending pertunjukan
yang terakhir
Rumentang Siang kosong dan
hening
Seperti ruangrenung seorang
aktor
Ditinggal ruhbatin yang
putihbening
(Sajak “Dari Panggung Ke Panggung Sandiwara”)
Pandangan yang mendudukan dunia sebagai yang fana dalam tradisi sufistik
mungkin karena seseorang telah melakukan perjuangan (mujahadah) untuk meninggalkan nafsu rendah sebagaimana tersirat
dalam puisi berjudul “Jenuh Ini Jiwa Bersetubuh dengan Raga”. Setelah
perjuangan untuk meninggalkan yang fana itu terlewati, maka tahap penyaksian
batiniah (musyahadah) terhadap
ketunggalan Tuhan menjadi nyata sehingga seseorang akan merasa yakin sepenuhnya
akan ke-esa-an Tuhan (haqq al-yaqin).
Jiwa yang menerima kondisi rohani semacam itu disebut faqir, yaitu kesadaran tidak memiliki apa pun selain cinta
kepada-Nya dan karenanya bebas dari kungkungan selain Dia. Megenai sikap
terakhir ini, kefanaan dunia tidak lantas melenyapkan segalanya selain Dia,
yakni alam sekitarnya, dunia dan sesamanya, tetapi semua itu dilihat semata
karena terpaut dengan-Nya.[1] Alam semesta akan tampak
sebagai sajadah dan kitab dimana seseorang pada maqam ini selalu dapat melihat dan
belajar akan hakikat di balik sesuatu. /Kepada bumi/ Belajarlah kita/ Ketakterbatasan
sabar//Kepada langit/ Belajarlah kita/ Keleluasan
fikir// Kepada segara/ Belajarlah
kita/ Kejembaran dada//Kepada padi/ Belajarlah kita/ Kerendahan
hati//Kepada hujan/ Belajarlah kita/Mencurahkan
kasih//Kepada Isa/ Belajarlah kita/ Kelezatan
papa//Kepada Baginda/ Belajarlah
kita/ Kesempurnaan hamba//Kepada
Rabbi/ Belajarlah kita/ Kedhaifan
diri// (Sajak “Belajarlah Kita”).
Pada perjalanan kepenyairan SAM
sajak-sajak yang ditulisnya seperti halnya media komunikasi antara jiwa dengan
Tuhan. Percakapan itu terus saja disusun melalui larik-larik pengalaman batin
penyairnya. Kecenderungan pada kegairahan rohani ternyata menyita seluruh
kesadaran aku lirik yang hampir terdapat hampir di sebagian besar sajak-sajaknya.
Sajak yang cukup bening berjudul “Back to Mosque!” menunjukkan bagaimana segala
aktivitas akan selalu menuju apa yang menjadi tujuan rindu. Kalau sudah begini
seseorang tidak lagi merasa cemas dan sepi karena selalu ada yang menemaninya,
yang tak lain adalah Allah swt.
Sesunyi malam ngajakku i’tikaf
Bertaqarrub di masjid ma’frifat
Ditemaninya aku lekat dan lezat
Menatap matacahaya Penatap
Dari bait awal di atas, tampak kegairahan bermuwajahah (face to face) dalam i’tikaf dengan Sang Penatap. Momen seperti ini bisa jadi suatu
kelezatan yang hakiki mana kala tiada lagi hijab akibat rutinitas lain di luar
yang semakin menjauhkan kedekatan (qurb)
makhluk dengan Sang Khaliq. Dari bangun bait pertama yang bening tersebut, cukup
disayangkan bahwa penyair justru mengakhiri dengan ungkapan yang enteng dan
verbal.
Dari kudus cakrawala bandung utara
Nerabas pepucuk rindu pepohon cinta
Meresap senyap melintas lembut
Sekelebat Kalimat nembus kekabut
: Back to Mosque!
(Sajak “Back to Mosque!)
Penyair menyebut Tuhan dalam puisi ini sebgai
Penatap. Layaknya mercusuar seluruh gerak hamba selalu dalam pengawasan-Nya.
Namun di balik pengawasannya tersebut ada juga cahaya kasih-Nya yang menerangi
sudut-sudut gelap manusia. Pengandaian (mitsal)
terkait dengan sifat atau Dzat Tuhan itu sendiri sangat kaya justru dalam
tradisi sufistik. Kita mengenal simurg,
sejenis burung/unggas dengan wujud jelita, banyak digunakan untuk alegori Tuhan
yang Maha Indah. Antromorphisme semacam ini mungkin akan dianggap bid’ah atau
syirik oleh beberapa kalangan konservatif yang menentang semua bentuk
pengandaian Tuhan.
Dalam Musyawarah Burung, Fariduddin
‘Attar menggambarkan bagaimana pengembaraan rohani para pecinta dengan alegori
burung. Burung sebagai symbol pendakian yang tidak pernah lelah untuk terbang
secara vertikal menuju Tuhan. Pada “Si Burung Bersayap Buntung”, SAM melakukan
variasi pendakian rohani dengan masih menggunakan alegori burung sebagai hamba
atau para pecinta yang kepayang dengan sarang persinggahan.
………………………………………………….
Burung-burung telah pulang
Kembali ke sarang-sarang
Sempurnakan puji-pujian
Bagi Dzat yang menghidupkan
Sedang aku, tinggal seorang
Adalah si burung bersayap buntung
Malu-malu mengharap hinggap
Dan itikaf di pucukpohonMu yang Agung
(Sajak “Si Burung
Bersayap Buntung”)
Aku lirik dalam puisi ini digambarkan sebagai
burung yang bersayap buntung yang menghrap dapat singgah/itikaf ke pucuk
pohon-Mu. Variasi dalam puisi ini adalah ketika si burung bukan lagi terbakar
sayapnya, seperti yang telah banyak digukan dalam puisi sufistik untuk menggambarkan
ektase pendakian roh manusia. Tetapi media untuk mendaki/terbang dalam puisi
ini justru “dihabisi” di awal. Dengan demikian harapan untuk terbang mencapai
puncak pohon-Mu itu hanya sebatas angan-angan yang sulit sekali diwujudkan.
Pada titik ini modifikasi untuk menciptakan kesegaran metafor sangat mendesak
dalam penciptaan puisi, namun logika sastra juga punya “aturan main” yang tidak
sepenuhnya lepas dari logika bahasa pada tingkat pertama. Artinya harapan untuk
mencapai puncak pohon atau hanya sekadar singgah pada sarang rindu, hanya
sepenuhnya ilusi yang ada dalam angan-angan si aku lirik.
Sebagai sikap konsisten aku lirik dalam
sajak-sajak SAM yang memuja kesenangan transendental, sajak “Orang Asing”
kembali menguatkan bahwa di manapun berada—tidak satu pun tempat singgah
menjadi “rumah” bagi kepulangan batin. Aku lirik di mana pun singgah tidak
pernah merasa at home karena
kepulangan yang ingin dicapainya adalah kepulangan kekal kepada Tuhan. Sikap
ini tidak mengarah pada fatalistik melainkan hanya konsekwensi dari ke-fakir-an
seperti telah disinggung di awal, yaitu tidak memiliki dan tidak juga dimiliki dunya. Pada titik ini hanya ada
kepasrahan karena ambisi duniawi ditutup, sementara itu alih-alih kepayang
ukhrawi yang seharusnya total akan Tuhan belum memperoleh jaminan, karena pada
bait terakhir aku lirik justru menutupnya dengan pertanyaan.
Di Bandung
Aku orang asing
Di Bogor
Aku orang asing
Di Sumedang
Aku orang asing
Di Magetan
Aku orang asing
Ya Allah, apakah di kotaMu
Aku kekal jadi orang asing?
(Sajak
“Orang Asing”)
***
Dari sekian banyak sajak dalam antologi Rembulan Pun Melapuk Di Reranting Perak (2011) ini terlihat sekali
bahwa SAM terombang-ambing antara dua sisi. Pertama, upaya untuk merayakan
bahasa. Kedua, beban ide yang kadangkala memaksakan sajak sebagai media dakwah.
Sajak-sajak seperti “Syifa Habbatushauda Pertaubatan”, “Tersesat Dalam Julumat”, “Wukuf Dzikrulmaut”,
“Dan Kematian Sesungguhnya”, juga “In Memoriam Gempa Jogya” masih terasa benar bahwa
ide lebih mendominasi dalam sajak. Ide-ide seperti: taubat, masa-masa kelam
hidup manusia, pentingnya mengingat mati, hakikat usia manusia, bencana sebagai
akibat dosa manusia seperti sederet pesan yang diartikulasikan melalui bentuk
sajak. Sebagaimana lazimnya sebuah pesan, motivasi untuk sampai kepada pembaca
juga lebih mendesak.
Selain menempuh jalan sunyi para pencari melalui sajak-sajak religiusnya,
SAM pada perjalanan kepenyairan berikutnya rupanya tidak bisa diam untuk tidak
menulisa sajak bertema sosial. Ada kesadaran hablumminallah ada juga hablumminannas
yang mencoba diusung. Bahwa kesalehan spiritual tidak lantas
melenyapkan kesalehan sosial. Sajak “Reruntuhan Manakib Abah Ajengan”, “Sajak Kang Paryono”, “Di Kampung Seluruh Kisah Terasa Santun”, “Selepas Pilpres”,
“Kemiskinan Mengundurkan Diri Dari Seluruh Revolusi”, “Tukang Daun Pandan Di Gigil Dini Hari Jembatan
Merah”, “Kau Kan Penyair? Tak Perlu Menjadi Presiden Indonesia”, “Di Tenggara Suhunan Kota”, “Di Ladang Jejak Kutemukan Bercak-Bercak Sebuah Sajak” merupakan isu-isu sosial yang menggoda untuk
ditulis.
Sampai di sini, saya akan
sudahi pembahasan melalui tulisan ini karena dua hal. Pertama, rokok saya sudah
tandas di asbak dan kopi di cangkir sejak tadi sudah mengering tinggal ampasnya.
Kedua untuk menghindari kesan monolog yang asosial dengan tidak melibatkan
saudara-saudara sekalian dalam pembicaraan. Sekian, dan mari berdiskusi![*]
*Bahan diskusi buku
puisi Rembulan Pun Melapuk Di
Reranting Perak (2011), 11 Sepetember
2011 di Rumah Dunia.
[1]
Lihat Abdul Hadi W.M. Hermeneutika,
Estetika, dan Religiusitas. (Yogyakarta: Mahatari, 2004) hal. 137
Tidak ada komentar:
Posting Komentar