Sabtu, 30 Maret 2013

UKM Belistra Diklat Di Gunung Pulosari


SORE hari hawa gunung mulai terasa. Sejuk pada punggung tangan, daun telinga dan lubang hidung. Dari jarak yang tidak terlalu jauh tampak Gunung Pulosari terbungkus kabut putih di atasnya. Bagus, seorang kawan yang memboceng saya mematikan mesin motor. “Kita sudah di Mandalawangi, Pandeglang,” ujar Bagus. Bahri kawan lain menghentikan motor di depan kami.

Ada dua orang teman yang masih tertinggal di belakang. Ibrohim dan Cevi. Saya hubungi Ibrohim (Boim) melalui ponsel. Menunggu selama kurang lebih sepuluh menit. Takjub dengan pemandangan yang asri, saya ambil beberapa gambar, memotret gunung yang berkabut. Terlihat sunyi namun indah. Sepuluh menit berlalu, Ibrohim dan Cevi datang. Kami pun melanjutkan perjalanan.

Semakin sore, udara gunung semakin terasa dingin. Jalanan lembab seperti baru saja tersiram hujan. Pasar Pari, Labuan, Pandeglang kami lalui. Kumuh dan murung. Beberapa lampu mulai menyala, hari makin beranjak gelap.

Tiba di sebuah pertigaan menuju Gunung Pulosari, Pandeglang, Banten, Bagus berbelok ke kiri. Beberapa rumah di pinggir jalan dengan lampu pijar yang tak terlalu terang. Penggilingan padi yang sudah tutup. Sebuah traktor di samping penggilingan ditutup terpal plastik.

Jalanan berbatu. Licin makin menurun curam. Bagus lebih rutin menarik rem tangan beberapa kali dan membelok tiba-tiba menghindari terjal batu. Bahri yang mengendarai Honda Karisma tanpa lampu harus menyusul kami karena kurang penerangan. Gelap makin pekat. Kami terus menembus jalan kecil berbatu. Kami memasuki  perkampungan tepat di kaki Gunung Pulosari. Setelah sekira satu kilo meter, mata saya kembali menemukan cahaya lampu dari rumah penduduk.

Sekira dua puluh mahasiswa sudah berkumpul di rumah warga. Mereka adalah peserta Diklat UKM Bengkel Menulis dan Sastra (Belistra). Acara Diklat belum dimulai. Kami menuju beranda tiga kali delapan meter.

Ilham, ketua pelaksana Diklat Menulis Belistra menyambut kami dengan jabatan tangan yang ramah. “Silakan, Kang. Pukul berapa dari Serang,” tanya Ilham sambil mempersilakan kami menaruh barang bawaan dan istirahat sejenak.

Beranda berada di depan dua kamar yang mereka sewa. Kami menaiki delapan anak tangga menuju beranda. Lelah perjalanan dari Serang seketika lumer seperi es krim di mulut. Kabut sejuk menyelusup kerah baju dan jaket kembali mengembalikan kesegaran tubuh. Sapa ramah kawan-kawan semakin membuat  suasana jadi makin akrab.

Belum lama kami ngobrol menunggu acara dimulai, sembilan pemuda bergabung di bale-bale si pemilik rumah. Mereka singgah untuk membeli keperluan selama perjalanan mendaki Gunung Pulosari. Mereka mengaku dari Mauk, Tangerang. Mereka mengaku dari Oi Pemanjat, Tangerang. Terdengar lagu Iwan Fals dari ponsel salah seorang. Mungkin ingin memastikan bahwa mereka mencintai Iwan Fals si maestro itu. Setelah memastikan perbelakan cukup, mereka pamit dan beranjak mendaki Gunung Pulosari menembus gelapnya malam hari.

***

Acara diklat dibuka dengan mengenal dunia cerpen bersama Niduparas Erlang, cerpenis terbaik yang mendapat juara satu Festival Seni Surabaya (FSS) melalui buku kumpulan cerpennya berjudul *La Rangku* (2011). Peserta tampak antusias dan  melontarkan pertanyaan seputar proses kreatif menulis cerpen.

Pertanyaan yang mereka ajukan antara lain: apakah cerpen itu; apa yang membedakan cerpen dengan novel dan novelet; bagaimana cara mengatasi kebuntuan ketika menuangkan ide dalam tulisan; dari mana mendapatkan ide tulisan; bagaimana menciptakan kejutan dalam cerita; seperti apa membuat paragraph pembuka yang menarik pembaca; dan sebagainya, dan seterusnya.

Diskusi semakin hangat ketika para peserta sadar peristiwa sehari-hari sangat mungkin untuk dikembangkan menjadi cerpen. Perhatikanlah pemberitaan di media massa cetak atau online belakangan ini. Suami menganiaya istrinya, aparat keamanan saling serang, guru mencabuli siswanya, para wakil rakyat silih berganti dipanggil KPK, beberapa ditahan sisanya ditangguhkan, dan sebagainya.

Peristiwa sehari-hari yang menyapa kita melalui media ini tentu sangat mungkin digarap menjadi cerpen. “Bahwa kehidupan pada dasarnya sudah memiliki ceritanya sendiri. Penulis tinggal memberi sentuhan imajinatif sedikit saja,” kata Niduparas. Setelah peserta mendapatkan materi cerpen, teh manis dan penganan mengisi jeda untuk materi berikutnya.

Materi selanjutnya yaitu penulisan esai bersama Wahyu Arya. Masing-masing peserta diminta untuk mengajukan masing-masing pertanyaan seputar esai seperti apa itu esai; siapa yang pertamakali mempopulerkan esai; apa yang membedakan esai dengan artikel, makalah atau karya ilmiah; bagaimana memulai esai; posisi esai di antara fiksi dan fakta; gaya penulisan esai; perbedaan esai dengan feature, dan sebagainya, dan seterusnya.

Wahyu menjawab satu per satu pertanyaan sambil memberikan materi tambahan mengenai esai. Materi diakhiri dengan membacakan contoh esai kepada peserta. Setelah selai dua materi, peserta perempuan istirahat ke kamar masing-masing. Peserta laki-laki melanjutkan dengan bermain poker hingga menjelang pagi.

Agenda Minggu pagi adalah mendaki Gunung Pulosari. Panitia berharap para peserta dapat membuat karya setelah mendapat pengalaman dan mencatat peristiwa ketika mendaki Gunung Pulosari. Kegiatan ini berlangsung dua hari, Sabtu hingga Minggu sore.

Demikian proses kawan-kawan UKM Belistra menggali kemungkinan dalam berkarya. Pengalaman apa pun yang berlalu-lalang dalam kehidupan sehari-hari sangat layak untuk diangkat menjadi karya sastra. Melihat, mendengar dan merasakan dengan hati untuk mencatat semua gejala kehidupan. Mereka masih percaya sebuah larik yang ditulis Chairil Anwar puluhan tahun yang lalu, bahwa *keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat!*

*
Pulosari, 31 Maret 2013*

* *

* Salah satu larik puisi Chairil Anwar berjudul “Catetan Th. 1946” dalam
kumpulan puisi *Aku Ini Binatang Jalang* (2000, cet. ke-VIII), Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.


Tidak ada komentar: